REVISI MAKALAH HINDU BUDHA- KELOMPOK 6





Upacara kelahiran, Perkawinan dan kematian dalam agama Hindu
dan Budha
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada matakuliah Hindu Buddha di Indonesia
Dosen Pembimbing:
                                                                Siti Nadroh, M.Ag



Kelas   : PA/IV/B
Oleh Kelompok 6:
Fariz Maulana Pratama          1113032100052
Iin Sumaeroh                          1113032100070
Nurmakiyah                            1113032100075
Sarah mutia Magfiroh             1113032100069



JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2015





PENDAHULUAN


      Perilaku pemujaan dan pencarian sepiritual merupakan aspek-aspek yang berbeda, tradisi-tradisi budaya adalah roh agama karena ia merupakan produk nilai-nilai yang ditanamkan oleh agama di dalam masyarakat. Ia tercermin dalam karakter suatu masyarakat beserta anggotanya. Tradisi demikian yang menjadi kebiasaan bersama bagi seseorang hingga akhir hidupnya. Bahkan semua telah terminum oleh jiwa dan terbawa kepada hidup yang berikutnya. Tradisi itu bagaikan pendulang biji intan yang mengolah karakter seseorang dan memberinya pancaran serta memperhalus intan yang cemerlang sebagai produk jadi. Semua itu membentuk cara pandang seseorang dan sekaligus memperhalus karakternya.
      Terkait juga dalam studi agama yang mana kali ini membahas agama Hindu dan juga Budha yang ada di indonesia. Namun yang kami angkat yaitu dalam aspek peribadatan dalam upacara kelahiran, perkawinan, dan juga kematian. Yang merupakan aspek penting dalam suatu agama.



UPACARA KELAHIRAN, PERKAWINAN, DAN KEMATIAN DALAM AGAMA HINDU

A.    MAKNA KELAHIRAN DAN UPACARANYA

Kebaradaan manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan memiliki kedudukan yang paling utama dan paling mulia. Hal ini dikarenakan manusia memiliki kemampuan yang lebih dalam hal peningkatan derajat harkat dan martabatnya. Peningkatan derajatnya sebagai manusia dapat dilakukan dengan memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya yang disebut dengan pikiran (idep). Sehingga dengan pikiran ini manusia memiliki wiweka yaitu kemampuan untuk mempertimbangkan baik buruknya sesuatu hal yang dilakukan. Namun demikian, manusia sebagai makhluk hidup juga tidak terlepas dari segala kekurangan., kekeliruan dan  jauh dari kesempurnaan. Sehingga sering kali manusia juga melakukan perbuatan perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan yang mengarah pada dosa.
Dalam agama Hindu selalu mengajarkan pada umatnya untuk senantiasa menjaga kesucian dalam diri baik melalui perbuatan dan juga dalam bentuk pelaksanaan upacara. Dengan demikian umat Hindu diharapkan dapat pula melaksanakan upacara pembersihan diri dari mulai ia lahir sampai pada waktunya harus kembali kepada sang Hyang Widhi yang disebut Upacara Manusa Yadnya.
Pelaksanaan upacara bagi bayi yang baru lahir salah satu maknanya adalah salah satu sebagai ungkapan rasa gembira dan syukur atas lahirnya si bayi ke dunia. Upakara-upakara yang dipergunakan disebut dengan Dapetan. [1]
Upakara Dapetan ini terdiri dari beberapa bagian yang disesuaikan dengan tingkatan upacaranya yaitu:
a.   Tingkatan Kecil
Upakaranya : nasi muncuk kuskusan, dilengkapi dengan buah-buahan (raka-raka), rerasmen (kacang, saur, garam, sambel dan ikan), sampian jaet dan canang sari serta buah penyeneng.
b.     Tingkatan Yang Lebih Besar
Upakaranya : sama seperti di atas hanya saja dilengkapi lagi dengan jerimpen di wakul yaitu sebuah wakul yang berisi sebuah tumpeng lengkap dengan raka-raka, rerasmen dan sampian jaet.[2]
Berikut adalah beberapa pandangan dari berbagai aspek mengenai makna dan fungsi upacara pawetonan:
1.     Upacara pawetonan memiliki nilai dasar kelepasan (moksa)
      Hari pawetonan adalah hari kelahiran seseorang kedunia, itu berarti jalan akhirat yang diberikan oleh sang Hyang Widhi kepada roh untuk lahir ke Dunia, memperbaiki karmawasana yang terdahulu menjadi lebih baik supaya ikatan karmawasananya semakin berkurang dan akhirnya hilang. Dengan lepasnya karmawasananya maka sifat-sifat roh berubah kembali menjadi jiwa, sehingga jiwa akan dapat meninggal dengan atma maka akan terjadi persatuan kembali yang disebut JIWATMAN. Setelah menjadi jiwatman, maka jiwatman akan kembali kepada sang pencipta yaitu akan kembali ke PARAMA ATMAN (Sang Hyang Widhi) dan ini yang disebut MOKSA.
      Melihat kembali jalan akhir, roh memiliki jalan lahir masing-masing menurut karmanya ada yang memiliki jalan lahir yang nanti setelah di dunia menjadi binatang (Sarwa prani), ada yang memiliki jalan lahir setelah di dunia menjadi manusia, semua itu tergantung dengan karma. Jalan lahir dan jalan ke akhirat sesungguhnya ialah sama, maka dari itu jalan lahir ini harus selalu disucikan melalui upacara pawetonan agar rohnya setelah meninggal tidak menemui kegelapan. Disamping itu juga tidak terlepas dari karma selama hidup di dunia.
      Bagi seseorang yang selalu berbuat adharma atau tidak mengindahkan petunjuk agama ditambah lagi tidak pernah putus upacara pawetonan, nanti disaat ajalnya tiba rohnya menemui kegelapan, sehingga lama tidak menemukan jalan ke akhirat untuk menuju ke hadapan sang pencipta, dan menurut garis pandangan Hindu, dilihat secara kenyataan bagi orang yang demikian akan lama merintih yang disebut mati kagela-gela (bahasa Bali).
      Perjalanan roh untuk mencari sorga sangatlah rumit karena ketergantungan dengan karmanya disaat hidupnya di dunia. Maka dari itu selama di dunia jangan henti-hentinya untuk berbuat kebajikan termasuk pelaksanaan upacara pawetonan (subhakarma) karena dianggap memiliki kekuatan magis sebagai pembuka jalan bagi roh yang sedang menuju dan menghadap kepada sang pencipta.
      Dengan demikian upacara pawetonan merupakan salah satu perbuatan kebajikan yang memiliki fungsi sebagai sarana pendorong ke arah moksa (moksartham-atmanam).

2.     Upacara pawetonan sebagai pembayar utang (Rna) dan pelebur dosa
      Setelah menghayati tentang ajaran “Tri Rna” maka dari salah satunya yang paling erat hubungannya dengan pelaksanaan upacara pawetonan adalah pembayaran hutang ke hadapan para leluhur (Pitra Rna). Sesuai dengan kepercayaan agama Hindu yang dilandasi oleh ajaran “panca srada”.
      Pembayaran hutang disini mengandung pengertian bahwa orang lahir di suatu keluarga menurut pandangan dan kepercayaan agama Hindu, yang ikut lahir (Reinkarnasi) adalah dewa pitara (roh suci leluhur) yang tetap menuntut kewajiban kepada sentananya, agar selalu berkarma baik. Setelah sentananya berbuat kebajikan termasuk melaksanakan upacara pawetonan maka pahala dari berbuat kebajikan tersebut akan dapat memberi pengaruh sebagai pelebur dosa dirinya sendiri, demikian juga akan memberi pengaruh peleburan dosa terhadap roh leluhurnya. Dalam hal ini yang ditekankan adalah kewajiban sebagai santana, agar apapun yang dilakukan berdasarkan kejujuran serta keikhlasan dari hati yang terdalam. Oleh karena demikian dapat disimpulkan bahwa mengenai hutang ke hadapan leluhur, bukan hanya berarti leluhur yang meninggal saja, tetapi terhadap leluhur yang masih hidup pun (bapak, ibu, kakek dan nenek) hutang sentana harus dibayar. [3]


3.     Upacara pawetonan sebagai faktor penyucian diri (Sudha Wadani)
      Upacara pawetonan memiliki arti dan fungsi sebagai penyucian diri baik secara jasmani maupun rohani, karena upacara pawetonan tersebut memiliki magis khususnya terhadap unsur-unsur kejiwaan manusia sendiri. Sebagai contoh,  dapat dilihat dengan nyata dari perilaku seseorang yang memiliki perilaku di luar rasio seperti perilakunya yang melanggar norma-norma, baik norma masyarakat maupun norma agama. Seandainya unsur-unsur kejiwaan itu seperti mesin mobil, salah satu komponen mesin tersebut itu terganggu, maka hidup mesinnya tidak akan stabil, dan jalan mobil akan pincang, itu berarti keseimbangan fungsi komponen akan terganggu, sehingga keserasian gerak komponen akan hilang.
      Demikian juga terjadi pada unsur-unsur kejiwaannya, apabila AHAMKARA lebih dominan, maka BUDHI-nya akan dipengaruhi oleh keseimbangannya, demikian juga terhadap MAHAT-nya, sehingga unsur tadi akan kehilangan keseimbangan dan keserasian, maka akan tercermin perilaku congkak, korup, kejam dsb.
4.   Upacara pawetonan sebagai etos pendidikan budi pekerti
      Dalam tata cara pelaksanaan upacara pawetonan sesungguhnya memiliki tatanan yang mengandung etika tinggi, dimana etika tersebut merupakan pencerminan aturan-aturan (sesana-sesana) tertentu sebagai etos pendidikan budi pekerti diantaranya AJI SESANA (aturan sebagai seorang ayah) dan PUTERA SESANA (aturan sebagai seorang anak). Yang dimaksud dengan aturan seorang ayah adalah tentang kewajiban seorang ayah terhadap anaknya yaitu memelihara dan melakukan pembinaan terhadap anak mulai dari sejak dalam kandungan terutama dalam hal pendidikan untuk membentuk kepribadian seorang anak agar terciptanya seorang anak yang Suputra.
      Mengenai pelaksanaan upacara pawetonan, sesungguhnya ayah sebagai pelaksana (nganteb) adalah AYAH KANDUNGNYA, karena ayah dan anak merupakan hubungan tali bathiniah yang amat kuat, menjadi satu kesatuan integral dan merupakan jembatan emas bagi yang memiliki pewatonan dengan rokh suci leluhurnya.
5.     Upacara pawetonan sebagai persembahan (korban suci) kehadapan rokh suci leluhur
      Upacara pawetonan kalau dipandang dari ke hadapan roh suci leluhur, merupakan titik kulminasi dari perbuatan karena pada saat pembuatan upakaranya telah mencerminkan penyatuan ajaran Catur Yoga, asal dalam persembahyangan betul-betul dilandasi oleh rasa pengorbanan yang tulus ikhlas. Bentuk persembahan ini memiliki rasa kereligiusan dan kemagisan yang luar biasa sehingga dapat memberi pengaruh terhadap dewa, pitara, manusia, butha, kala, durga baik pada bhuwana agung maupun bhuwana alit secara skala dan niskala.[4] Pengaruh yang dapat ditimbulkan adalah dharma, yaitu dapat menetralisir pengaruh-pengaruhburuk, menuju ke pengaruh-pengaruh kebajikan. Disamping itu, pengaruh terhadap para roh suci leluhur adalah bersifat SAMSKARA (penyucian).[5]

B.    MAKNA PERKAWINAN DAN UPACARANYA
      Sastra Hindu dengan tegas melarang perkawinan antara sesama anggota Gotra. Gotra atau klan adalah penanda hubungan sedarah. Sekarang, merupakan fakta sains yang tak dapat dipungkiri lagi bahwa perkawinan antar sesama anggota sedarah (dinasti atau gotra) tidak sehat. Keturunan dari perkawinan itu berkembang menjadi kerusakan genetis yang serius hingga kelainan, cacat fisik, atau keterbelakangan mental. Semakin jauh dari garis sedarah semakin sehat keturunan itu. Bahkan alam pun mengikuti hukum ini.
      Ada suatu petunjuk bahwa suatu tatanan genetis yang tertanam di dalam sel-sel kita yang memberi inspirasi pada kita untuk jatuh cinta dengan seseorang anggota yang berasal dari luar kelompok dadiaatau ras kita. Dampak inilah yang menyebabkan para pemuda dari musmuh klan saling jatuh cinta dan melahirkan legenda kasih yang memenuhi kebudayaan dunia. Ini merupakan sebuah fenomena alami, suatu bagian agenda evolusi yang memperbaiki keturunan dari beberapa spesias.
      Membuat simpul pada kain mempelai saat upacara perkawinan adalah sebuah adat yang sakral. Ini menjadi cara simbolis untuk membuat komitmen yang sepenuh hati. Tindakan semacam itu membuat upacara tersebut menjadi sebuah peristiwa yang amat mengesankan.
      Sudut kain sari pengantin perempuan disimpulkan dengan sudut kain pundak (dupatta) pengantin laki-laki sebagai simbol menyatukan mereka berdua dalam sebuah penyatuan suci. Dan diharapkan bahwa mereka akan selalu berdampingan sepanjang hidup mereka.
      Simpul itu berisi koin, bunga, umbi kunyit, daun dhurva dan biji beras. Jadi, kedua mempelai haruslah memahami arti penting simbolis itu. [6]
Adapun upacara perkawinan dalam agama Hindu ialah :
1.     Upacara Ngekeb
      Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
      Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Di pekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.
      Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat Bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
a.     Mungkah Lawang ( Buka Pintu )
      Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
b.     Upacara Mesegeh Agung
      Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegeh agung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng
c.      Madengen–dengen
      Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian[7]
d.     Mewidhi Widana
Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan

e.     Mejauman Ngabe Tipat Bantal
      Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.
f.      Upacara Melasti
Sebelum pelaksanaan Melasti, semua para deva (arca atau pratima) dari setiap pura dalam wilayah lingkungan kota atau desa diiring berkumpul di Pura Desa Puseh. Para deva satu-persatu berdatangan setelah lebih terdahulu bersujud menghadap Meru, Sri Visnu, kemudian distanakan berdampingan satu sama lain dalam satu bangunan memanjang yang disebut sebagai Balai Panjang atau Balai Agung. Keesokan harinya upacara Melasti dilangsungkan, Tuhan Sri Visnu dan para deva diiringi bersama-sama menuju laut atau ke mata air terdekat yang dianggap suci tergantung daerah masing-masing. Upacara Melasti tidak lain adalah upacara penyucian, prayascita. Dalam lontar Sang Hyang Aji Swamandala disebutkan : “Untuk melenyapkan penderitaan masyarakat dari keterikatan dunia material,” sedangkan lontar Sundarigama menyatakan; “Untuk memperoleh air suci kehidupan di tengah-tengah lautan.” Air suci ini berasal dari muara sungai-sungai suci di India khususnya sungai Gangga.[8]
C.    MAKNA KEMATIAN DAN UPACARANYA
      Pandangan secara filosofis setelah atman itu tiada di badan maka badan itu tidak ada bedanya dengan benda lainnya. Namun dari sudut pandang agama meskipun badan yang merupakan sisa-sisa panca maha bhuta itu harus dirawat dengan sebaik-baiknya. Karena badan sangat berjasa telah menjadi alat atman melakukan berbagai kegiatan selama hidup di dunia ini. Dan juga badan walaupun sudah ditinggalkan atman tidak dapat dianggap sampah begitu saja dan dibakar tanpa arti. Harus adanya perawatan jenazah bagi orang yang telah meninggal sebagai bukti bahwa manusia itu memiliki budaya.[9]
      Pada waktu mati namanya yang mana disebutkan juga dalam wrhaspati tattwa. Pada waktu mati yang hanya berarti berpisahnya panca maha bhuta dengan dengan atma yang ada pada tubuhnya, hanya badan kasarnya saja yang lenyap sedangkan atmanya tetap tak berubah sebab alam ini penuh dengn atma.
      Jadi pada intinya penulis mengasumsikan bahwa kematian itu adalah terjadinya pelepasan atma dari badan yang kasar akan tetapi atma masih ada karena ia merupakan pancaran atau sisa-sisa dari panca maha bhuta. Akan tetapi badan yang kasar itu tidak bisa di abaikan begitusaja karena badan tersebutlah yang telah menopang atau menjadi media bagi atma selama berada di dunia.
Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
1.   Ngaben Sawa Wedana
      Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu). Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan. Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.
2.     Ngaben Asti Wedana
      Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu Pertiwi).
3.      Swasta
      Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan karena beberapa hal, seperti: meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.[10]
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut:
a.   Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
b.   Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak menghalangi perjalan Atma ke dunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta yaitu:
a). Pertiwi  unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku, dll
b). Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll
c). Bayu : unsur udara yang membentuk nafas.
d). Teja : unsur panas yang membentuk suhu tubuh.
e). Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam tubuh.

Makna upacara ngaben
            Landasan filosofis dalam upacara ngaben adalah konsepsi sarira menurut wrhaspati tattwa yang mana atman diselubungi oleh tiga sarira yang disebut tri sarira. Sarira yang kasar disebut suthula sarira sedangkan yang lebih halus disebut suksma sarira. upacara ngaben ini juga bisa disebut upacara pitra yajna. Kalau dalam upacara ngaben itu ada jasad orang yang meninggal maka upacara ngaben itu disebut sava wedana. Upacara ngaben adalah untuk menjembatani perjalanan atman menuju brahman. Dengan sebaliknya unsur-unsurpanca maha bhuta yang membentuk sthula sarira maka atman telah meningkat perjalanannya dari buhur loka sampai pada bhuwah loka. Jadi upacara ngaben adalah upacara penyucian pitarapada tahap ikatan panca maha bhuta.[11]
A.    Makna kelahiran dan upacaranya dalam Agama Budha
Upacara Kelahiran
     Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi Relic Suci, di Kandy.
     Pada saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang diberikan.
      Lahir Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.
      Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga.[12]
      Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
      Menurut "Upacara Ritual Buddhis dan Sri Lanka," dengan pengecualian penahbisan dengan kehidupan monastik dan ritus pemakaman, hidup peristiwa siklus dianggap sebagai urusan sekuler untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak seperti di agama besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan bayi-upacara ada. Dalam masa yang lebih baru, ritual Buddhis telah dicampur dengan orang-orang dari agama-agama dunia dan budaya lain. Di banyak negara bahwa praktek Buddhisme Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan Buddha penamaan bayi-ritual.
B.    Makna perkawinan dan upacaranya
     Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia sesuai dengan Dhamma.”
      Perkawinan merupakan paduan keluarga antara dua pihak, yaitu pihak suami dan pihak istri. Oleh karena itu perkawinan yang harmoni akan tercipta jika masing-masing pihak (pihak suami maupun pihak istri) mau menerima dan memperlakukan kehadiran mertua selaku orang tuanya sendiri, serta memperlakukan saudara-saudara dari pihak suami maupun istri (saudara ipar), sebagai saudara kandungnya sendiri. Demikian pula terhadap saudara-saudara serta teman-teman yang lainnya dari masing-masing pihak. Sebaliknya pihak mertua harus mau menerima kehadiran menantu sebagai anak kandungnya sendiri, dan demikian pula bagi saudara-saudara iparnya. Dalam dunia rumah tangga tidak sedikit telah terjadi perceraian dengan mengorbankan anak-anak, hanya karena ikut campirnya atau karena adanya dominasi mertua atau sauara-saudara ipar dalam rumah tangga. Oleh karena itu untuk membangun rumah tangga yang harmoni diperlukan adanya kerelaan berkorban dan saling pengertian antara pihak-pihak yang bersangkutan. Pada kenyataannya memang sangat sulit kita menjumpai rumah tangga yang harmoni. Jika dari 10 rumah tangga itu kita bisa jumpai 2 rumah tangga / keluarga yang bisa hidup harmoni, ini merupakan hal yang sangat baik. Tetapi jika dari sepuluh rumah tangga itu ternyata hidupnya kurang harmoni (kalau tidak boleh dikatakan brengsek), maka hal ini merupakan hal yang biasa.[13]
      Jadi bagi para pemuda  tidak perlu takut untuk berumah tangga, karena jodoh yang akan kita dapatkan sesuai dengan karmanya masing masing. Pasangan suami istri yang tampaknya tidak sesuai, namun nyatanya anaknya terus lahir. Dalam hal ini kita dapat jumpai adanya pasangan suami-istri yang tidak seimbang, namun rumah tangga mereka bisa berjalan lancar, dan banyak yang bisa memdidik anak-anak mereka dengan sukses. Yang dikatakan pasangan atau jodoh itu memang tidak harus sama. Seperti misalnya sepasang sepatu atau sandal tidak akan sama. Begitu pula pasangan siang dengan  malam sama sekali tidak sama. Siang dan malam hari-hari selalu ada akan tetapi tidak bisa bersamaan. Demikianlah meskipun rumah tangga itu ada yang selalu cekcok, tetapi tak perlu rumah tangga itu harus pecah (cerai). Apakah dengan demikian kita tidak bisa membangun rumah tangga yang bahagia seperti yang kita cita-citakan? Bukan demikian. Hanya untuk membangun rumah tangga yang harmoni itu tidaklah gampang. Karena kunci utamanya ialah kita harus mampu untuk menakhlukkan diri kita masing-masing dengan kata lain disini ditekankan pada saling pengertian. Kita harus mampu menaklukkan / mengendalikan nafsu-nafsu keinginan kita masing-masing.
       Dalam keharmonian di keluarga tidak bisa diraih dengan berdoa saja, tetapi haruslah diraih dengan perjuangan. Usaha yang ulet, secara lahiriah maupun batiniah. Secara lahiriah bisa dicapai dengan memiliki keterampilan dan mata pencaharian yang benar serta bekerja denga rajin dan ulet untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
      Di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
      Perlu dipertimbangkan, bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi setelah ia mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan menyakiti hati isteri atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada seorang laki-laki yang telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha, maka setelah beralih menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan isteri atau isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.
Upacara Perkawinan
I. Persiapan Upacara
      Agar dapat dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha (misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).[14]
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
a. Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua calon mempelai.
b. Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir dari kedua calon mempelai.
c. Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
d. Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21 tahun.
e. Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
      Setelah semua syarat dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya, maka pengumuman tentang perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman selama 10 hari kerja.
      Dalam hal perkawinan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat Kecamatan).
II PELAKSANAAN UPACARA
a. Tempat Upacara
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
b.Perlengkapan atau Peralatan Upacara
Persiapan peralatan upacara :
a. Altar dimana terdapat Buddharupang.
b. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
c. Tempat dupa
d. Dupa wangi 9 batang
e. Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
f. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
g. Cincin kawin
h. Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
i. Pita kuning sepanjang 100 cm
j.Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
k. Surat ikrar perkawinan
l. Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C. Pelaksanaan Upacara Perkawinan
1. Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
2. Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
3. Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
4. Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
5. Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
6. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara
7. Pernyataan ikrar perkawinan
8. Pemasangan cincin kawin.
9. Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
10. Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
11. Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
12. Wejangan oleh pandita.
13. Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
14. Namaskara penutup dipimpin oleh pandita. [15]
C. Makna kematian dan upacaranya
Bila kematian tiba,
Tak ada yang kubawa serta,
Harta, kemewahan bukan lagi milikku,
Kedudukan, nama dan kekuasaan,
Semua telah sirnah.
Siapa mengiringi perjalananku ?
Lenyap sudah tali ikatan
Teman, sahabat, keluarga tercinta,
Hanya tinggal kenangan ……
Kini ku teringat,
48 janji besar Amithabha Buddha’
Tekad mulia menolong semua makhluk,
Bebas dari derita,
Untuk lahir dari surga sukhavati,
Kepada-Nya aku berlindung,
Sepenuh hati ku berseru :
Namo AmithabhaBuddha. (berulang-ulang).[16]
      Agama Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukan akhir dari segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan di alam tumimbal lahir yang baru.  Kalau kita mengambil perumpamaan dari tv atau radio, ibaratnya perubahan channel atau frekuensi, misalnya hidup kita sekarang berada di channel satu, ketika channel satu dimatikan dan diganti dengan channel yang lain, maka akan berganti pula gambar di layar tv tersebut. Bagi mereka yang sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan; minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan kemantapannya  di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabhabuddha. Menurut agama buddhapun, hidup tidak hanya sekali . adanya silkus lahir dan mati,bagaikan siang dan malam. Kematian bukanlah akhir, karna seketika itu pula berlanjut pada kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea lam yang lain, ataupun kembali kea lam yang sama, para mahluk menjalani lingkaran tumimbal lahir. Buddha mengatakan,”sesuai dengan karmanya mereka akan bertumimba-lahir dan dalam tumimba lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Karna itu aku menyatakan: semua makhluk adalah ahliwaris dalam perbuatannya sendiri” (A.V, 291).[17] Karma juga membagi para makhluk menjadi berbeda, yang dikatakan sebagai hina dan mulia. Doktrin karma menjelaskan kenapa ada manusia yang pendek usia, ada yang panjang usia; yang sering sakit dan jarang sakit; yang buruk rupa dan cantik rupawan; yang sedikit rezeki dan banyak rezeki; yang miskin dan kaya raya; yang memiliki keluarga kecil dan keluarga besar ; yang dungu dan pandai bijaksana (M. III, 202-203). Ketika ada yang terlahir catat, karma juga alasannya. Ada daya tarik  si anak dengan karma orang tuanya. Adanya karma individual dan adanya karma kolektif.[18]
      Sedangakan gagasan penganut Buddha tradisional tentang kematian didasarkan pada doktrin india kuno yaitu samsara, dan secara beragam diterjemaahkan sebagai renkarnasi atau transmigrasi- dari waktu kehidupan menjadi kehidupan yang lain.
      Dengan alasan ini, Shakyamuni memasukan kepercayaan terhadap kehidupan setelah mati dalam ajarannya. Pada saat kehidupan penuh dengan kejahatan, penderitaan dan kesedihan akibat keadaan yang ada tentu seruan keimanan tentang adanya kehidupan setelah mati. Mengajak orang lain agar meyakini kehidpan setelah mati mungkin menjadi barang aneh bagi orang-orang saat itu, namun ajakan itu dapat berkerja dengan baik, membebaskan mereka dari penderitaan dana nasib yang sebelumnnya diyakini tidak dapat ditaklukan.
Upacara Kematian
a.         Proses penghancuran Badan jasmani dan Rohani
Terurainya 4 Element besar dimulai dari unsur tanah, unsur tanah akan turun ke unsur air, yang menyebabkan badan terasa sesak, seakan-akan menanggung beban yang sangat berat, seluruh otot terasa kaku dan keram, pada saat ini dianjurkan agar sanak saudara jangan menyentuh atau memijatnya, karna akan menambah penderitaan jasmaninya. Setelah itu unsur air akan turun ke unsur api, yang menyebabkan seluruh tubuh bagaikan diselimut oleh hawa dingin yang amat sangat, beku sakit bukan kepalang. Dan dilanjut dengan turunnya unsur api ke unsur angin, rasa sakit bertambah hebat, seluruh badan terasa panas bagaikan terbakar. Element terakhir yang terulang adalah unsur angin, badan rasanya seperti ditiup oleh angin kencang, tercerai-berai dan hancur lebur. Saat ini 4 element besar telah berpisah, badan jasmani tak dapat dipertahankan lagi,inilah yang disebut mati dalam ilmu kedokteran. Tetapi menurut teori Buddhis, indra ke 8 (alajnavijnana) dari orang tersebut belum pergi, karenanya belum boleh disentuh, dia masih dapat merasa sakit, bahkan ada yang bisa mengeluarkan air mata, walaupun secara medis sudah dinyatakan mati.[19]
b.         49 Hari perjalanan Badan medio (ALAJNAVIJNANA)
Setelah seluruh 4 element besar terurai maka indra ke 8 pun (alajnavijnana) mulai meninggalkan badan jasmani, masa ini disebut masa medio (pralihan).  Alajnavijnana yang sudah telepas dari badan jasmani disebut juga dengan istilah ‘badan medio’.
Jangka waktu sebulum badan medio tumimbal-lahir kea lam yang lain adalah selama 49 hari (7 X 7 hari ). Menurut aliran Sukhavati dihitung sejak saat dia meninggal hingga hari ke 49. Sedangkan menurut aliran Tantrayana, setelah terlepas dari badan jasmani, badan medio akan pingsan dan baru sadar 3,5 – 4 hari sesudah hari kematiannya.
Kondisi umum badan Mediao :
      Pada mulanya badan medio belum menyadari bahwa dirinya telah meninggal dunia, seandainya kita dapat melihat keberadaannya, akan tetlihat terang dan lincah. Dia merasa semua indranya lengkap : mata, telinga; hidung; lidah, badan dan pikirannya bekerja sangat baik. Orang yang semasa hidupnya buta dapat melihat kembali, yang bisu dapat bicara, yang tuli dapat mendengar, badannyapun dapat melang-lang buana, bebas tiada  yang merintangi.
       Jika pada waktu itu ada sanak kaluarganya yang mangadakan upacara kematian dan memanggil namanya, maka dia akan mendekati jenazah dan menjadi sadar bahwa dia telah tiada.
      Jika pada saat kematian keluarrga almarhum mengadakan upacara kematian dengan menyajikan sajian hasil pembunuhan hewan,misalnya : babi, ayam, ikan dan sebagainya, hal itu bukannya menolong, justru semakin menambah penderitaan badan medio, bagaikan mendorong badan medio masuk ke 3 alam sengsara (binatang, preta, dan neraka),sebab hawa amarah dari binatang yang matipenasaran trsebut akan dapat menggangu perjalannan badan medio, sehingga badan medio merasa jengkel,  kesal dan marah. Kondisi yang buruk ini tidak menunjang  badan medio agar tumimbal lahir dialam yang lebih baik, tetapi justru menjerumuskannya kea lam yang rendah.
      Kontak rasa badan medio pada 14 hari pertama:
      Apabila semasa hidupnya badan medio tidak pernah berjumpa/berjodoh dan tidak mengerti budha darma, pertolongan dari pihak keluarga tidak ada, maka bbadan medio hanya mengandalkan karmanya sendiri dalam perjalannan kematiannya.
      Mula-mula badan medio akan berkontak rasa dengan  6 cahaya yng muncul sebagai akibat dari karmannya sendiri. Jika karmanya berkontrakk rasa dengan alam:
Dewa, akan tampak sinar putih redup
Manusia, akan tampak sinar kuning redup
Asura, akan tampak sinar hijau redup
Binatang, akan tampak sinar biru redup
Preta,(setan gentayangan), tampak sinar merah redup
Neraka, akan tampak asap berkabut hitam.
      Pada umumnya, tanda berkontak rasa dengan dunia baik, sesaat setelah meninggal dunia, satengah badan kebawah akan dingin lebih dahulu,  sedangkan jika berkontak rasa dengan dunia buruk, setengah badan ke atas yang akan menjadi dingin terlebih dahulu . acarnya parampara (sesepuh) mengatakan : jika bagian wajah yang terakhir menjadidingin akan tumimbal lahir di alam dewa, jika bagian tenggorokan yang terakhir dingin akan tumimbal lahir di alam asura, jika hati yang terakhir dingin akan kembali lahir sebagai manusia, jika yang terakhir dingin adalah bagian bawah perut akan menjadi setan gentayanan, jika dengkul  yang terakhir dingin akan menjadi binatang dan jika yang terakhir dingin telapak kaki maka akan masuk kea lam neraka. Bagi mereka yang tidak tumimbal lahir dari 6 alam kehidupan,pada saat seluruh badan telah menjadi dingin, bagian kepala tetap hangat.
Hari ke 1 :
Badan medio akan melihat warna biru cerah seperti biru langit, di tengahnya bertahta Buddha Vairocana (pilucena-Fo) diatas singga sana singa.
Hari ke 2 :
Terdapat sinar putih suci yang menyinari badan medio, sinar ini adalah sinar dari budha Aksobhya (Buddha Vajrasattva/cing kang-Fo) yang bertahta diatas singgasana gajah, disampingnya terdapat Bodhisattva Ksitigarbha dan Bodhisattva Maitreya.
Hari ke 3 :
Terdapat sinar kuning indah yang merupakan sinar dari budha Ratnasambhava (pao sen-Fo) yang bertahta diatas kuda sakti, disampingnya terdapat Bodhisattva Akasagarbha (si Kung Cang Posat) dan Bodhisattva Samantabhadra (Phu Sien Po-Sat).
Hari ke 4 :
Terdapat sinar merah yang bagaikan api unggun suci. Inilah sinar dari Amitabha Buddha dari surge Sukhavati di sebelah barat yang bertahan di singgasana burung merak, langsung menyinari badan medio, disampingnya terdapat Bodhisattva Avalokitesvara (Kuan Se Im  Po-Sat) dan Budhisattva Mahasthamaprata (Ta Se Ce Po-Sat) yang berdiri dengan penuh welas asih.
Hari ke 5 :
Terdapat sinar hijau terang bagaikan pelangi suuci, ini adalah sinar dari Budha Amoghasiddhi (Pu Kung Cen-Fo) yang bertahta pada singgasana mahluk yang berbadan manusia dan berkepala burung.
Hari ke 6 :
Jika pada hari ke 6 badan medio blom dapat menemukan penjemputan, tentulah karna akusala karma  yang telah di perbuatnya, atau selama hidupnya tidak mengenal Buddha darma, sehingga tidak yakin atas pertolongan gaib Buddha dan Bodhisattva.  
Hari ke 7 :
Jika badan medio melewatkan 6 hari pertama, maka hari ke 7 akan muncul 5 penjemput yang menduduki posisi timur,selatan, barat, utara, dan tengah.masing-masing mengangkat taangn kanan nya membentuk mudra penaklukan dan mengeluarkan sinar yang menyoroti badan medio. Pada saat yang sama,dari alam binatang memancarkan sinar biru redup, jangan terpikat pada sinar ini, karna munculnya sinar ini sebenarnya akibat kebodohan diri sandiri.
Hari ke 8 :
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4, dan bermata 9.  Bagiab kanannya berwarna putih, sedangkan kirinya berwarna merah,dan bagian tengahnya berwarna coklat merah tua. Gigi taringnya menonjol dan alisnya bersinar nagaikan listrik. Seluruh badannya bercahaya dan berteriak keras menggelegar. Malaikat ini sebenarnya adalah penjelma dari Buddha Vairocana (Pilucena-Fo) yang datang menjemput, jangan takut dan kaget, bersujudlah kepadanya dan masuklah kedalam sinar bijak Hyang Buddha, jika saat itu sepenuh hati menyebut Nama Amitabha Buddha, masih dapat terlahir di surge Sukhavati bagian barat.
Hari ke 9 :
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4. Bagian kirinya berwarna putih, sedang bagian kanannya berwarna merah dan bagian tengahnya berwarna biru tua. Malaikat ini sebenarnya adalah penjelma dari Buddha Aksobhya (Vajrasattva/Cing Kang-Fo), yang muncul akibat kontak rasa indra sendiri, jika disaat itu menyebut Namao amithaba Budha,dengan sepenuh hati, badan medio dapat tiba juga di surga Sukhavati bagian barat.
Hari ke 10 :
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4. Bagian kirinya berwarna putih, sedang bagian kanannya berwarna merah dan bagian tengahnya berwarna kuning tua. Malaikat ini sebenarmya penjelmaan dari Buddha Ratnasambhava (Pao Sen-fo) dari selatan.
Hari ke 11:
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah marah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4. Bagian kananya berwarna putih, sedangkirinya berwarna biru dan tengahnya berwarna merah.malaikat ini adalah penjelmaan  dari Buddha Amithaba (Omito- F0).
Hari ke 12 :
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah marah, bermuka 3, bertangan 6 dan berkaki 4.kanannya berwarna putih, kirinya berwarna merah dan bagian tengahnnya berwarna hijau tua. Malaikat ini adalah penjelmaan dari Buddha Amoghasiddhi (Pu Kung Cen-Fo).
Hari ke 13 :
Pada hari ini akan muncul 8 malaikat berwajah merah disertai dengan 8 wanita berkepala aneka macam yang amat menakutkan masing-masing mengambil posisi mengurung dalam 2 lapisan, jangan takut karna semua ini muncul dari bayangan khayal indra badan medio.
Hari ke 14 :
Pada hari ke 14 badan medio akan mlihat berbagai bayangan malaikat wanita dengan bentuk rupa yang marah dan menyeramkan.semua penampakan ini timbul karna kontak rasa dari indra sendiri. Ke 28 malaikat wanita ini akan mengalilingi badan medio dalam 2 lapisan (luar dan dalam), yang berkedudukan sebagai penjaga pintu 4 penjuru.[20]
Lapisan sebelah dalam
Timur:
1)  Berkepala kerbau dengan warna coklat merah tua,memegang tongkat dan mangkok dari tengkorak manusia.
2)   Berkepala ular warna merah kuning memegang bunga teratai.
3)   Berkepala macam tutut warna biru hitam memegang tombak bercula tiga.
4)   Berkepala monyet warna hitam memegang roda.
5)   Berkepala beruang es warna merah memegang tombak pendek.
6)   Berkepala beruang putih warna merah memegang tali yang terbuat dari usus manusia.
Barat:
1)   Berkepala elang warna hijau kehitaman memegang tongkat kecil
2)   Berkepala kuda warna merah memegang kaki tangan mayat.
3)   Berkepala elang warna putih  memegang tongkat kayu.
4)   Berkepala anjing warna kuning memegang tongkat dan belati.
5)   Berkepala burung platuk warna merah memegang busur panah.
6)   Berkepala rusa warna hijau memegang hiolo.
Utara: 
1)   Berkepala serigala warna biru memegang bendera kecil.
2)   Berkepala kambing hitam warna merah memegang tongkat kayu runcing.
3)   Berkepala babi hutan warna hitammemegang tali urat gigi.
4)   Berkepala burung gagak warna merah memegang jenajah anak kecil.
5)   Berkepala gajah warna hijau hitam memegang jenazah dan mangkok tulang manusia.
6)   Berkepala ular warna biru memegang tali ular.
Selatan:
1)   Berkepala kelelawar warna kuning memegang pisau belati.
2)      Berkepala singa warna merah memegang hiolo.
3)      Berkepala kalajengking warna merah memegang bunga teratai.
4)      Berkepala burung warna putih memegang tongkat.
5)      Berkepala musang berwarna hitam kehijaun memegang tongkat  kayu.
6)      Berkepala macan warna kuning kehitaman memegang cawan babi berkepala manusia.
Lapisan sebelah luar
Timur: Berkepala burung berwarna hitam memegang kail bedsi.
Barat: Berkepala singa warna merah memegang rantai besi.
Utara: Berkepala ular warna hijau memegang klenengan/bel.
Selatan: Berkepala kambing hutan warna kuning memegang tali.
            Hari ke 15 – 49.
     Jika sampai hari ke 14 badan medio belum dapat menggunakan kesempatan yang ada untuk masuk kedalam alam Buddha, badan medio akan mendengar teriakan-teriakan yang memilukan dan menyeramkan, terasa angin yang besar dan kencag meniup dari arah belakang dan sekelilingnya menjadi gelap gulita.disaat itu munculah raja setan dan seluruh perajuritnya, bentuk badannya besar dan berwajah menakutkan, siap ,meminum darah manusia. Jika badan medio melihat keadaan ini janganlah takut , sadarlah bahwa segala wujud atau rupa itu pada hskekatnya adalah kosong. Sebutlah Namo Amitabha Buddha, maka semua gambaran akan lenyap dan badan medio segera tumimbal lahir di Surga Sukhavati.[21]



DAFTAR PUSTAKA
Agung Mas Gusti Putra NY. I, Upacara Manusa Yadnya. PT. Paramita, Yogyakarta :  1987
Dutavira Bhiksu,  Perjalanan Kematian,  PT. Kisanlal, Denpasar  : 2003
Dhammananda  Sri,  Keyakinan Umat Buddha, Pustaka  Karaniya, Jakarta : 2007
http://hindudanbudhadiindonesia20142.blogspot.com.diakses pada tanggal 19 Mei 2015,pukul 13.45
I.B. Drs. MBA, Sudarsana, Putu MM,  Ajaran Agama Hindu,  Yayasan                      Dharma Acarya, Yogyakarta : 2007
Punia I Wayan, Tradisi dan Upacara Hindu,  PARAMITA PT. Kisanlal Sharma,  Denpasar : 2007
Rah-toem.blogspot.com/2011/12upacara-dan-upakara-untuk-bayi-baru.html. diakses pada tanggal 19 Mei 2015 pukul 12: 32
Singgin Wikarman  I Nyoman Drs,  Ngaben (Upacara dari tingkat sederhana sampai utama),  PT Paramita, Surabaya : 2002
Surya Widya Sasanadhaja Pandita, DR, Tuntunan Perkawinan dan Hidup Berkeluarga dalam Agama Buddha, Pengurus Pusat MAGABUDHI bekerjasama dengan Yayasan Buddha Sasana , Jakarta : 1996







[1] Drs. I.B. Putu Sudarsana, MBA, MM,  Ajaran Agama Hindu  (Yogyakarta : Yayasan Dharma Acarya, 2007, Cet. Pertama), h.12.
[2] Rah-toem.blogspot.com/2011/12upacara-dan-upakara-untuk-bayi-baru.html. diakses pada tanggal 19 Mei 2015 pukul 12: 32
[3] I Wayan Punia, Tradisi dan Upacara Hindu (Denpasar :  PARAMITA PT. Kisanlal Sharma, 2007. Cet.kedua), h. 22
[4] Skala adalah fisik yang dapat dilihat, dan Niskala adalah fisik yang tidak dapat dilihat yang pada intinya merupakan bakti kepada tuhan.
[5] Drs. I.B. Putu Sudarsana, MBA, MM,  Ajaran Agama Hindu  (Yogyakarta : Yayasan Dharma Acarya, 2007, Cet. Pertama),  h.23-36
[6]. I Wayan Punia, Tradisi dan Upacara Hindu (Surabaya : Pt. Kisanlal Sharma Paramita, 2007, cet. Pertama)  h. 133-134
[7] Ibid, h. 14o.
[8] https:// ruthanggita.wordpress.com/ngaben/ diakses pada tanggal 19 Mei 2015 pukul 13:03
[9]  Drs. I Ketut Wiana, Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu II  (Surabaya : 2004, cet pertama). h. 17
[10] Drs. I Nyoman Singgin Wikarman, Ngaben (Upacara dari tingkat sederhana sampai utama), (Surabaya : PT Paramita, 2002, Cet.Pertama), h.26
[11]. NY. I Gusti Agung Mas Putra, Upacara Manusa Yadnya. ( Yogyakarta : PT. Paramita, 1987), h. 55

[12]  Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha  (Jakarta : Pustaka  Karaniya ,  2007, cet.  Kelima). h. 343
[13] Ibid, h. 343
[14] Ibid, h.328
[15] Ibid, h. 290
[16] Pandita Sasanadhaja, DR. Surya Widya, Tuntunan Perkawinan dan Hidup Berkeluarga dalam Agama Buddha (Jakarta :  Pengurus Pusat MAGABUDHI bekerjasama dengan Yayasan Buddha Sasana , 1996, Cet. Pertama), h. 32

[17] Bhiksu Dutavira,  perjalanan Kematian  (Denpasar : PT. Kisanlal, 2003 cet. kedua), h. 11.
[18] http://hindudanbudhadiindonesia20142.blogspot.com.diakses pada tanggal 19 Mei 2015,pukul 13.45

[19]Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha  (Jakarta : Pustaka  Karaniya ,  2007, cet.  Kelima). h. 256
[20] Ibid, h. 254
[21] Ibid, h.255
Share on Google Plus

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 komentar:

Posting Komentar