UPACARA, KELAHIRAN, PERKAWINAN, DAN KEMATIAN DALAM AGAMA
HINDU
1. Makna Kelahiran dan Upacaranya
Manusa artinya
manusia, Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara
Manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka
pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang
sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Upacara manusa yadnya erat sekali hubungannya
dengan Catur Purusa Arta yang artinya empat tingkatan
atau jenjang dalam menjalani hidup ini. Bagian dari catur purusa arta adalahbrahmacari, grehasta, wanaprasta,
dan bhiksuka. Dalam Jenjang-jenjang hidup inilah kita akan
mengalami yang disebut manusia dalam agama tadi. Sebelum manusia itu dilahirkan
dan masuk pada jenjang-jenjang kehidupan, Ada beberapa proses upacara Manusa
Yadnya seperti :
1. Magedong- gedongan (Garbhadhana Samskara)
Upacara ini dilaksanakan pada saat kandungan
berusia 7 bulan .
Tata Pelaksanaan :
1. lbu yang
sedang hamil terlebih dahulu dimandikan (siraman) di parisuda, dilanjutkan
dengan mabyakala dan prayascita.
2. Si lbu
menjunjung tempat rempah-rempah, tangan kanan menjinjing daun talas berisi air
dan ikan yang masih hidup.
3. Tangan kiri suami memegang benang, tangan
kanannya memegang bamboo runcing.
4. Si Suami
sambil menggeser benang langsung menusuk daun talas yang dijinjing si Istri
sampai air dan ikannya tumpah.
5. Selanjutnya melakukan persembahyangan
memohon keselamatan.
6. Ditutup dengan panglukatan dan terakhir
natab
2. Upacara kelahiran (Jatakarma
Samskara).
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru
dilahirkan. Upacara ini adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si
kecil di dunia.
Tata Cara :
1. Bayi yang
baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari, canang genten,
sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh yang menjelma pada si bayi
mendapatkan keselamatan.
2. Setelah
ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil lalu ditutup.
Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu dibelah menjadi dua
bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat sebelum kendil atau kelapa
itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau belahan kelapa bagian atas
ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan pada dasar alas
kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH KARA (AH) .
3. Kendil atau
kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di dalamnya diberi bunga.
4. Selanjutnya
kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya pada bagian kanan pintu
ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan bagian kiri untuk wanita bila dilihat
dari dalam rumah.
Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan
terima kasih dari kedua orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari
bahwa hal tersebut akan menambah beban baginya.
Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal
antara lain :
• Adanya
keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-tugasnya terhadap
leluhur dan masyarakat.
• Hutang kepada orang tua terutama berupa
kelahiran telah dapat dibayar.
3. Upacara kepus puser
Upacara kepus puser atau pupus puser adalah
upacara yang dilakukan pada saat puser bayi lepas.
Tata Cara :
1. Puser bayi
yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu dimasukkan ke dalam "ketupat
kukur" (ketupat yang berbentuk burung tekukur) disertai dengan
rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan lain-lain, digantung pada bagian
kaki dari tempat tidur si bayi.
2. Dibuatkan
kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh sesajian.
3. Di tempat
menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya ditaruh sajen segehan nasi
empat warna, dan di sanggah cucuk diisi dengan banten kumara.
4. Tidak ada
mantram khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon keselamatan dengan cara
dan kebiasaan masing-masing.
4. Upacara
bayi umur 12 hari (Upacara Ngelepas Hawon)
Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu
upacara yang disebut Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi
nama (nama dheya) demikian pula sang catur sanak atau
keempat saudara kita setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati
Raja, Sang Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.
Sarana Upakara yang kecil : Peras,
Penyeneng, Jerimpen tunggal dll, semampunya.
Upacara yang
biasa (madia) : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal, di sini
hanya ditambah dengan penebusan.
Upacara yang
besar : Seperti upacara madia hanya lebihnya jerimpen
tegeh dan diikuti wali joged atau wayang lemah.
Waktu Upacara ngelepas hawon dilaksanakan pada
saat si bayi sudah berumur genap 12 hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di
dalam rumah pekarangan yaitu di sumur (permandian), di dapur, serta di sanggah
kamulan. Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini dipimpin oieh keluarga yang
paling dituakan.
Tata Cara :
Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu
dan si anak. Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan
berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu dan Siwa. Inti
pokok upacara yang ditujukan :
Kepada si ibu adalah:
banten byakaon dan prayascita disertai dengan tirta pebersihan dan
pengelukatan.
Kepada si bayi adalah:
banten pasuwungan yang terdiri dari peras, ajuman, daksina, suci. Soroan alit
pengelukatan, dan lainnya.
Banten pengelukatan di dapur, permandian dan
kemulan pada pokoknya sama, hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:
· tumpeng merah untuk di dapur
· tumpeng hitam untuk di permandian dan
· tumpeng putih untuk di kemulan.
Inti pokok banten pengelukatan tersebut
antara lain: peras dengan tumpeng, ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian,
penyeneng dan sorotan alit serta periuk tempat tirta pengelukatan.
5. Upacara kambuhan (umur 42 hari)
Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42
hari. Tujuannya untuk pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping
juga untuk membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).
Tata cara Untuk upacara kecil:
1. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan
maprayascita.
2. Si bayi beserta kedua orang tua diantar ke
sanggah kamulan untuk natab.
Tata Cara Untuk upacara yang lebih besar :
1. Si bayi dilukat di dapur, di permandian, dan
terakhir di sanggah kamulan.
2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan
maprayascita
3 Si bayi beserta kedua orang tuanya natab di
sanggah kamulan
Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi
berumur 42 hari), merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian
terhadap si bayi dan kedua orang tuanya. Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di
dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di Merajan/Sanggah Kemulan (Tempat
Suci Keluarga). Upacara Tutug Sambutan (Upacara setelah bayi berumur 105 hari),
adalah upacara suci yang tujuannya untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan
si Bayi seperti yang dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini
nama si bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang,
kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga.
Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang
bertujuan untuk penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan /
pemotongan rambut untuk pertama kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi
belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun tersebut dibiarkan menjadi jambot
(jambul) dan akan digunting pada waktu upacara peringatan hari lahir yang
pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara Mepetik ini adalah merupakan
rangkaian dari upacara Tutug Sambutan yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket
upacara dengan upacara Tutug Sambutan.
6. Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) -
Niskramana Samskara
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur
105 hari, atau tiga bulan dalam hitungan pawukon.
Sarana Upakara kecil: panglepasan,
penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.
Sarana Upakara
besar:
panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula gembal, banten
panglukatan, banten turun tanah.
Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak
berusia 105 hari. Bila keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu
tinggal di rantauan dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar
sementara si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda.
Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh rangkaian upacara
bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah. Pelaksana Upacara ini
dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
Tata Cara :
1. Pandita / Pinandita memohon tirtha
panglukatan.
2. Pandita / Pinandita melakukan pemujaan,
memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi.
3. Bila si bayi akan memakai
perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda
tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha.
4. Doa dan
persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar oleh Pandita
/ Pinandita.
5. Si bayi
diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan.
6. Terakhir si
bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.
7. Upacara satu oton - (Otonan)
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210
hari atau enam bulan pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus
kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam
kehidupan sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.
Tata cara:
1. Pandita /
Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan untuk memohon persaksian
terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya.
2. Pemujaan
terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).
3. Penghormatan
terhadap leluhur.
4. Pemujaan
saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan pertama kali, untuk
wetonan selanjutnya tidak dilakukan.
5. Pemujaan
saat pawetonan dan persembahyangan.
8. Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh
gigi yang pertama. Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh
dengan baik.
Sarana :
Tata Cara :
1. Pemujaan
terhadap Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan segala sesajen yang tersedia.
2. Si bayi
natab mohon keselamatan.
3. Selesai
upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan selanjutnya
gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.
9. Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)
Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak
untuk mempelajari ilmu pengetahuan.
Tata Cara :
1. Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan
Hyang Widhi Wasa.
2. Si anak bersembahyang.
3. Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan
dengan natab sesayut / tetebasan.
4. Si anak diperciki tirtha.
10. Upacara menek deha (Rajaswala)
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak
menginjak dewasa. Upacara ini bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara
Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.
Tata Cara :
Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama
putra / putri yang diupacarai terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita.
Setelah itu dilanjutkan dengan natab sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut
raja singa bagi yang putra.
Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.
Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir,
hidup dan mati (kembali keasalnya). Manusia hidup di dunia mengalami beberapa
phase yaitu, fase anak-anak, pada fase ini anak dianggap sebagai raja, semua
permintaannya dipenuhi. Phase berikutnya adalah pada masa anak meningkat
dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap sebagai raja, tetapi sebagai
teman. Orang tua memberikan nasehat kepada anak-anaknya dan anak itu bisa
menolak nasehat orang tuanya bila kondisi dan lingkungannya tidak mendukung,
artinya terjadi komunikasi timbal balik atau saling melengkapi. Dan yang
terakhir adalah phase tua, di sini anak tadi menjadi panutan bagi penerusnya.
Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah
suaranya mulai membesar /berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan
bagi perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini
seseorang mulai merasakan getar-getar asmara, karena Dewa Asmara mulai menempati
lubuk hatinya. Bila perasaan getar-getar asmara ini tidak dibentengi dengan
baik akan keluar dari jalur yang sebenarnya.
Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi
melalui dua jalur yaitu, jalur niskala, membersihkan jiwa anak dengan
mengadakan Upacara yang disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan
wejangan-wejangan yang bermanfaat bagi dirinya.
Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan didalam Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang
dapat menuju sorga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang tulus
iklas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala merupakan
Yadnya (persembahan yang tulus iklas) yang membuat peluang bagi keluarganya
untuk masuk sorga.
11.Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh
Sad Ripu yang ada pada diri si manak.
Tata Cara :
1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala
dan maprayascita.
2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke
hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3. Selanjutnya
naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin
yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi
bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4. Upacara dilanjutkan
oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5. Orang yang
diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah
dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6. Setelah
diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang
ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
Tujuan Upacara Potong Gigi
Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih
lanjut dari lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau
diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi seri di
atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol pengendalian terhadap sad
Ripu (enam musuh dalam diri manusia). Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus),
Krodha (marah), mada (mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu
yang tidak terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka
kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta memohon kepada
Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad ripu.Makna yang tersirat dari
mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan Semaradhana ini adalah mengupayakan
kehidupan manusia yang selalu waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama
(dharma) sehingga di kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge
loka bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).Dalam
pergaulan mudamudi pun diatur agar tidak melewati batas kesusilaan seperti yang
tersirat dari lontar
Semaradhana.
Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan
upacara Ngeraja Sewala atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”,
yaitu upacara syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa
anak-anak menuju ke masa dewasa.
12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)
Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan
telah mengikatkan diri sebagai suami-istri.
Tata cara
1. Sebelum
upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu mempelai mabhyakala dan
maprayascita.
2. Kemudian
mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah Pesaksi sebanyak tiga kali
serta dilanjutkan dengan jual beli antara mempelai Iaki-laki dengan mempelai
wanita disertai pula dengan perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.
3. Sebagai
acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan natab banten dapetan.
Bagi Umat Hindu upacara perkawinan mempunyai tiga arti penting yaitu :
- Sebagai
upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon mempelai agar
mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga dan nantinya agar bisa mendapatkan
keturunan yang baik dapat menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
- Sebagai
persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang wanita bahwa
keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala perbuatannya menjadi
tanggung jawab bersama.
- Penentuan
status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat Hindu menganut sistim
patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula untuk mengikuti sistim
patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin mengikuti sistem patrilinier
(garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau nyentana yaitu mengikuti wanita karena
wanita nantinya sebagai Kepala Keluarga.
Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di
halaman Merajan/Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara
yaitu kedua mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga )
sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa sok pedagangan
( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-tegenan (barang-barang
yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala Sepetan”(upakara sesajen yang
ditaruh di tanah) kedua mempelai menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah
tiga.
Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti
kemudian mempelai laki berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala
isinya yang ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan
dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah), menanam pohon
kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong dibelakang sanggar
pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga) dan diakhiri dengan melewati
"Pepegatan" (Sarana Pemutusan) yang biasanya digunakan benang
didorong dengan kaki kedua mempelai sampai benang tersebut putus.
3. Makna Kematian dan Upacaranya
Ngaben merupakan salah satu
upacara yang dilakukan oleh Umat Hindu di Bali yang tergolong upacara Pitra
Yadnya (upacara yang ditunjukkan kepada Leluhur). Ngaben secara etimologis
berasal dari kata api yang mendapat awalan nga, dan
akhiran an, sehingga menjadi ngapian, yang disandikan menjadi ngapen yang lama
kelamaan terjadi pergeseran kata menjadi ngaben. Upacara Ngaben selalu
melibatkan api, api yang digunakan ada 2, yaitu berupa api konkret (api
sebenarnya) dan api abstrak (api yang berasal dari Puja Mantra Pendeta yang
memimpin upacara). Versi lain mengatakan bahwa ngaben berasal dari kata beya
yang artinya bekal, sehingga ngaben juga berarti upacara memberi bekal kepada
Leluhur untuk perjalannya ke Sunia Loka
Bentuk-bentuk Upacara Ngaben
Ngaben Sawa Wedana
Sawa Wedana adalah upacara ngaben
dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) .
Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari
hari meninggalnya orang tersebut. Pengecualian biasa terjadi pada upacara
dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan.
Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka
jenazah akan diletakkan di balai adat yang ada di masing-masing rumah dengan
pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah. Dewasa ini
pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah
masih ditaruh di balai adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya
seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi, memberi makan
disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan
upacara yang disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan
masih berada dilingkungan keluarganya.
Ngaben Asti Wedana
Asti Wedana adalah upacara ngaben
yang melibatkan kerangka jenazah yang telah pernah dikubur. Upacara ini
disertai dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari
orang yang bersangkutan untuk kemudian mengupacarai tulang belulang yang
tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya
ada upacara tertentu dimana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan
upacara kematian dan upacara pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan
setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi ( Menitipkan di Ibu
Pertiwi).
Swasta
Swasta adalah upacara ngaben
tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan
karena beberapa hal, seperti : meninggal di luar negeri atau tempat jauh,
jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini jenazah biasanya disimbolkan
dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai
badan kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Ngelungah
Ngelungah adalah upacara untuk
anak yang belum tanggal gigi.
Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk
bayi yang keguguran.
Tujuan Upacara Ngaben
Upacara ngaben secara
konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut :
1. Dengan membakar jenazah maupun
simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki makna
untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat
dengan mudah bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam)
2. Membakar jenazah juga
merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca Maha
Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar
tidak menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka Bagian Panca Maha Bhuta
yaitu : a. Pertiwi : unsur padat yang membentuk tulang, daging, kuku,
dll b. Apah: unsur cair yang membentuk darah, air liur, air mata, dll c.
Bayu : unsur udara yang membentuk nafas. d. Teja : unsur panas yang
membentuk suhu tubuh. e. Akasa : unsur ether yang membentuk rongga dalam
tubuh.
3. Bagi pihak keluarga, upacara
ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan
kepergian yang bersangkutan.[2
0 komentar:
Posting Komentar